PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Relevansi Pendidikan Karakter
Revolusi digital, perubahan peradaban masyarakat, dan semakin tegasnya abad kreatif telah menggugah semangat untuk membudayakan penguatan pendidikan karakter (PPK). Pada hakitanya, PPK adalah suatu wujud harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan oleh raga (kinestetik) yang bermuara pada terciptanya nilai-nilai utama berupa sifat religious, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Gerakan ini diyakini berkorelasi dengan tercapainya tujuan pembangunan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Oleh karena itu, kapasitas ekosistem pendidikan yang meliputi kepala sekolah, guru, siswa, pengawas sekolah, orang tua, dan komite sekolah, disamping keluarga dan masyarakat, perlu ditingkatkan agar tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003) untuk membangun sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan bisa tercapai.
PPK menjadi semakin relevan dalam menyongsong terbentuknya generasi emas tahun 2045. Oleh karena itu, tiap siswa perlu dibekali kecakapan abad 21 yang meliputi kualitas karakter (religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas) agar bisa beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis, literasi dasar seperti baca tulis dan berhitung, sain, teknologi informasi, budaya, dan finansial yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, serta kompetensi berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif agar siswa mampu memecahkan masalah yang semakin kompleks.
Unsur-Unsur Pendidikan Karakter
Penguatan pendidikan karakter di sekolah dasar atau sederajad menjadi basis dalam struktur pendidikan di Indonesia. Itulah sebabnya konsep PPK melibatkan para pemangku kepentingan dengan basis kelas, basis budaya sekolah, dan basis masyarakat secara sinergis. Di kelas, para guru dituntut memiliki kemampuan pedagosis dan metodologis yang baik, disamping menguasai materi secara komprehensif dan holistik. Keteladanan nilai-nilai utama banyak diserap murid dari para guru. Seperti yang dikemukakan sastrawan Ahmad Fuadi, guru yang baik bagaikan petani. Mereka menyiapkan bahan dan lahan di kelas, memelihara bibit penerus bangsa, menyirami mereka dengan ilmu, dan memupuk karakter mereka dengan karakter yang luhur. Guru yang ikhlas adalah petani yang mencetak peradaban.
Budaya sekolah juga mempengaruhi karakter anak. Sekolah yang baik membiasakan siswa menerapkan nilai-nilai utama, baik itu yang bersifat spiritual, sosial, maupun kultural. Budaya sekolah yang mengapresiasi budi pekerti disamping prestasi akademik akan menjadi rumah teduh dan sejuk bagi tumbuhnya jiwa-jiwa yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial, dan intelektual secara seimbang dan selaras. Sistem manajemen sekolah yang akuntabel, kondusif, dan akomodatif akan menjadi laboratorium pendidikan yang memungkinkan semua pemangku kepentingan merumuskan strategi, teknik, dan cara mencapai tujuan pendidikan.
Sama pentingnya, masyarakat yang meliputi orang tua dan komite sekolah, pegiat pendidikan, dunia usaha, pelaku seni dan budaya, serta pemerintah juga memaikan pearn dan tanggungjawab dalam menyukseskan pendidikan karakter. Separuh waktu belajar anak adalah bersama orang tua di rumah. Keteladanan sikap dan tindak dari orang tua sangat penting. Sikap positif yang harus ditunjukkan diantaranya adalah pembiasaan sopan-santun, toleransi, dan apresiasi, dan ketertiban. Mengajari anak tertib di jalan raya, tidak menyerobot antrean, dan berempati pada orang lain yang kesusahan adalah sifat-sifat mulia yang hanya efektif dihayati anak melalui keteladanan dari orang tua. Kesadaran kesehatan lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya juga lebih banyak dipelajari dari orang tua.
Sungguh miris ketika orang tua justru menanam dan menumbuhkan karakter arogan, tidak tertib, dan ingin menang sendiri pada anak. Siswa yang tidak taat aturan di sekolah, terlambat atau bolos sekolah adalah cerminan dari pendidikan karakter, khususnya di keluarga. Penganiayaan guru oleh siswa, apalagi oleh orang tua siswa, merupakan cerminan buruknya kesadaran beretika dan beretiket dalam menyelesaikan kesalahpahaman.
Pendidikan yang Ideal
Sistem pendidikan yang baik mensyaratkan adanya sinergi yang harmonis dan selaras antara pendidikan karakter, literasi, dan kompetensi. spiritual, para pemangku kepentingan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sebagai pelaksana pendidikan, sekolah perlu terus didorong agar bisa menyediakan pendidikan karakter, literasi, dan kompetensi yang berbudaya mutu dan unggul. Kerjasama yang erat antara sekolah dengan para pemangku kepentingan seperti dinas pendidikan, dewan pendidikan, dan komite sekolah akan menjamin terselenggaranya praktik pendidikan yang baik.
Selain itu, kemampuan pedagogi serta metodologi pengajaran para guru perlu terus ditingkatkan agar selaras dengan perkembangan zaman. Penggunaan bahan ajar yang sesuai dengan konkteks kekinian juga harus terus diikhtiarkan. Sama pentingnya, keteladanan sikap, perilaku, dan tuturan dari para pendidik haruslah selalu diberikan. Penguatan karakter siswa melalui langkah pendisiplinan siswa oleh guru haruslah dikemas secara sehat dan bertanggungjawab. Hukuman yang melampaui kapasitas guru dan kesanggupan siswa, dan diluar kelaziman serta kepatutan sosial justru akan menumbuhkan pemberontakan oleh siswa.
Kualitas pendidikan juga menuntut dukungan orang tua dan masyarakat karena salah satu faktor keberhasilan siswa belajar di sekolah adalah karena dukungan dari orang tua dan masyarakat. Saat anak sedang belajar di rumah, hendaknya orang tua mematikan televisi dan mendampingin anak belajar. Beri teladan pada anak agar suka berderma, menghargai sesama, cinta tanah air, belajar mandiri, dan jujur. Tidaklah realistis menuntut sekolah bertindak melampaui kapasitasnya bila orang tua dan masyarakat tidak mendukungnya.
Supriyono, S.H., S.Pd., S.E., M.M., C.M.
Sekretaris Komite Sekolah SDN Ungaran I Yogyakarta
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!